Perjanjian Renville (Januari 1948)
Setelah
Agresi Militer Belanda I, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun
tangan dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menjadi mediator dalam
menyelesaikan konflik antara Indonesia dengan Belanda. Perjanjian Renville
disepakati di atas kapal USS Renville pada 8 Desember 1947.
Perjanjian
Renville dihadiri oleh beberapa pihak, diantaranya:
· Delegasi Komisi Tiga Negara yang diwakili Dr. Frank Graham (Ketua), Paul van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby (anggota).
· Delegasi Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin (ketua), Ali Sastroamijoyo (anggota), Haji Agus Salim (anggota), dr. J. Leimena (anggota), dr. Coa Tiek Ien (anggota), dan Nasrun (anggota).
· Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo (ketua), Mr. H.A.L. Vredenburg (anggota), Dr. P.J. Koets (anggota), dan Mr. dr. Christian Robert Steven Soumokil (anggota).
Perjanjian
Renville menghasilkan keputusan, yaitu:
- Pihak Indonesia menyetujui
dibentuknya negara Indonesia Serikat pada masa peralihan sampai pengakuan
kedaulatan.
- Belanda bebas membentuk
negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui
jajak pendapat terlebih dahulu.
- Republik Indonesia hanya
diakui secara de facto atas wilayah-wilayah yang dikuasai oleh TNI saat
itu.
- TNI harus mundur dari
daerah-daerah yang telah diduduki Belanda dalam Agresi Militer I atau
daerah-daerah dibelakang garis van Mook dan masuk ke wilayah Indonesia.
- Gencatan senjata antara
Republik Indonesia dan Belanda.
Dampak
Perjanjian Renville
Perjanjian
Renville menimbulkan dampak dan reaksi keras baik dari rakyat Indonesia, politikus
maupun TNI. Beberapa dampak perjanjian Renville diantaranya:
- Indonesia kehilangan banyak
wilayah strategis akibat kewajiban TNI untuk mundur ke wilayah de facto.
- Perjanjian ini sangat
merugikan Indonesia secara militer, namun diplomatiknya dipandang sebagai
kemenangan karena menunjukkan keabsahan kedaulatan Indonesia di hadapan
dunia internasional.
Pemerintah
dianggap gagal dalam berdiplomasi. Sebagai konsekuensi dari Perjanjian
Renville, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit. Pasukan Siliwangi pun harus
melakukan Long March untuk berpindah dari Jawa Barat ke Yogyakarta pada 17
Januari 1948. Rakyat, pemerintah, dan TNI Bersatu dan aktif melakukan serangan
gerilya ke wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda. Hal ini pun dimanfaatkan
Belanda dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948
dengan mengepung kota Yogyakarta. Aksi ini dilakukan Belanda dengan berdalih
bahwa Indonesia sering melanggar gencata senjata sehingga menyebabkan
Perjanjian Renville gagal.
0 comments:
Post a Comment